Pencariansederhana adalah pencarian koleksi dengan menggunakan hanya satu kriteria pencarian saja. Ketikkan kata kunci pencarian, misalnya : " Sosial kemasyarakatan " Perbandingan hukum pidana : Indonesia - Belanda - Jerman - Austria - Skotlandia - Inggris - Korea - Jepang - Malaysia - RRC - Belgia - Argentina - Greenland - Portugal
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENG ... jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands ...di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau ... 8 Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Amer ... penegakan hukum di Amerika Serikat adalah tanggung jawab utama badan kepolisian lokal dan departemen sheriff, sedangkan kepolisian negara bagian memberikan pelayanan yang lebih ...sistem hukum yang ... 18 Perbandingan Hukum Pidana 001 ... Pengertian Perbandingan Hukum Pidana adalah Sebagai suatu disiplin ilmu sekaligus sebagai cabang ilmu hukum, pada awalnya dipahami sebagai salah satu metoda pemahaman sistem hukum, ... 11
PerbandinganHukum Pidana. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah FH-UNDIP, 1986. Atmasasmita, Romly. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju Badan Pembinaan Hukum Nasional. Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981. Jakarta: BPHN, 1985. Bemmelen, J.M van. Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum.

Related PapersSebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini adalah sangat kompleks, disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan sampai tidak dikenalnya tindak pidana korporasi di masyarakat adalah memang tidak diaturnya tindak pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, namun secara parsial sudah banyakdiatur dalam hukum pidana di luar KUHP. Proses moderenisasi dan pembangunan ekonomi, menunjukkan bahwa korporasi berperan penting dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, tidak jarang korporasi dalam mencapai tujuannya melakukan aktivitas yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum pidana dengan modus operandi yang karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum keperdataan telah bergeser menjadi tindak pidana, disamping tindak pidana manusia alamiah Natuurlijk person. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana serta cara membuktikan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, jenis penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan yang makan pendekatan tersebut adalah pendekatan undang-undang, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah dan pendekatan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana, sejatinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang korporasi itu telah memperoleh status kebadanhukumannya yang sah maka korporasi itu bisa dibebani pertanggungjawabana secara pidana. Cara membuktikan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak Strict liability, pertanggungjawaban pengganti Vicarious liability serta mengadopsi teori identifikasi Identification theory kedalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidanaPertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Kejahatan Hak Cipta © April 2018 Eklektikus Ahmad Mahyani, Editor Tomy Michael Master Desain Tata Letak Eko Puji Sulistyo Angka Standar Buku Internasional 978-602-1176-32-0 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK PRAKATA Tidak dikategorikannya sebuah korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, berakibat korporasi tidak dapat dituntut bertanggungjawab secara pidana. Korporasi yang melakukan kejahatan terhadap hak cipta ini seolah-olah memperoleh hak impunity, yaitu kebebasan dari hukuman atas kejahatannya dalam bentuk pembajakan, memperbanyak dan memperjual belikan karya cipta seseorang. Padahal kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi pelaku kejahatan hak cipta ini sangat besar akibatnya bagi negara maupun bagi pemilik atau pemegang hak cipta dibandingkan bila pelakunya adalah perorangan. Pertanggungjawaban yang dilimpahkan kepada pengurus korporasi, baik itu direktur, manajer, kepala bagian, operator, bahkan sampai karyawan bawah sekalipun yang telah berlangsung selama ini terbukti tidak berhasil menimbulkan deterrent effect. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa dalam hal pelangaran hak cipta, korporasi yang melakukannya harus dapat dituntut secara pidana berikut pengurusnya dengan pidana denda yang maksimal agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari, beserta teori yang cocok untuk diterapkan. Dipaparkan pula pemikiran untuk lebih mengedepankan aspek primum remedium bila pelanggaran ini telah mencapai taraf yang meresahkan dan menimbulkan gangguan secara luas. Disarankan untuk mengambil alih korporasi yang melakukan pelanggaran hak cipta bila penerapan aspek primum remedium berakibat bangkrutnya korporasi, sehingga karyawannya tidak kehilangan pekerjaan. Akhirnya, karya buku yang diambil dari tesis penulis Agustus 2012 dapat dimanfaatkan sebagai penambah wawasan pengetahuan di bidang perlindungan hak cipta, tidak saja khusus untuk para mahasiswa namun juga bagi khalayak umum yang membutuhkannya. Surabaya, Maret 2018 Penulis Ahmad Mahyani, Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang kajian komparatif asas kesalahan menurut kitab undang-undang hukum pidana indonesia dan kitab undang-undang hukum pidana jerman, bahwa untuk mempidana pelaku tindak pidana harus secara objektif telah melakukan tindak pidana dan secara subyektif harus ada kesalahan yang dikenal sebagai asas kesalahan atau geen straf zonder schuld, namun KUHP Indonesia tidak meformulasikan secara eksplisit mengenai asas kesalahan ini, berbeda dengan KUHP Indonesia, Germani Criminal Code yang sama-sama menganut civil law merumuskan secara eksplisit mengenai asas kesalahan sebagai salah satu prinsip monodualistik. Maka dapat dilihat dengan jelas perbedaan bahwa KUHP Indonesia tidak merumuskan secara eksplisit asas kesalahan, sedangkan Jerman mengatur asas kesalahan secara eksplisit dalam Germani criminal code. Tujuan dari penelitian ini adalah 1 membandingkan, mengetahui dan menjelaskan pengaturan asas kesalahan di Indonesia dan di Jerman dan 2 Untuk mengkaji kebijakan formulasi asas kesalahan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan komparatif yaitu mengenai masalah asas kesalahan antara Indonesia dengan KUHP Negara Jerman. Objek utama penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode penelitian data menggunakan langkah langkah 1 mengidentifikasi fakta hukum tentang asas kesalahan 2 mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan asas kesalahan dalam KUHP Indonesia, KUHP Jerman, dan Asas kesalahan dan perspektif pembaharuan hukum pidana 3 menarik analisa dalam bentuk argumentasi 4 memberikan penilaian berdasar argumentasi yang di bangun dalam kesimpulan. Tehnik pengumpulan data ditempuh dengan studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa KUHP Indonesia tidak memformulasikan secara eksplit asas kesalahan baik dalam ketentuan umum maupun dalam ketentuan khusus, namun dalam Pasal-Pasal tindak pidana yang dilanggar secara implisit untuk mempidana seseorang melakukan tindak pidana harus ada kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian, sedangkan di Jerman mengatur dan memanifestasikan Asas kesalahan, dalam Germani Criminal Code pada Bab II KUHP Republik Demokrasi Jerman Jerman Timur 1968, yang pada saat itu Jerman Masih menjadi Negara bagian yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur, dan setelah Negara Jerman Bersatu Pada tahun 1990 dalam amandemen Germani Criminal Code Asas Kesalahan ditempatkan dalam 1 pasal Aturan Umum dan terbagi menjadi 2, yaitu Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum. dalam hukum pidana nasional yang akan datang asas kesalahan diatur secara eksplisit dalam ketentuan umum KUHP Indonesia pasangan asas legalitas. Kata Kunci Kajian Komparatif, Asas Kesalahan, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,This research aimed to analyse and giving description on penal responsibility application in Criminal Code and Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Legal issues in this research are how the corporate's criminal responsibility in Criminal Code and Law on Consumer Protection. The result shows that corporate's criminal responsibilities in not regulated in Criminal Code, the criminal law subject is persons. The criminal code adopt sociates delinquere non potest principle, means corporate is not able to conduct crimes. Corporate is a subject of criminal law can be found in Law on Consumer Protection. Corporate's criminal responsibility can be imposed to corporate itself even tough in such act corporate is not have fault factors, this matter based on strict liability theory. Corporate's responsility can be imposed by the actions of corporate directors, as substitute responsibility of corporate directors actions, this matter based on vicarious liability. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan gambaran penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Isu hukum dalam penelitian ini meliputi Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Hukum Pidana, Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban korporasi tidak diatur di dalam KUHP, subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan. KUHP masih menganut asas sociates delinquere non potest yaitu korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai subyek dalam hukum pidana, hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi meskipun dalam perbuatan pidana tersebut korporasi tidak memiliki unsur kesalahan, hal ini mengacu pada teori strict liability. Korporasi dipertanggungjawabankan atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus korporasi tersebut, korporasi sebagai pertanggungjawaban pengganti atas perbuatan yang dilakukan pengurus korporasi, hal ini mengacu pada teori vicarious ini merupakan tugas kelompok yang berisi mengenai ringkasan materi tentang Tindak PIdana, Implementasi di INdonesia dan analisis mengenai tindak pidana yang dibahas dalam buku yang kami ringkas

Persamaansistem peradilan pidana Indonesia dan Inggris (lanjutan) 2. Adanya lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan dan advokat dengan format yang sedikit berbeda; 3. Adanya kesamaan dalam proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding, kasasi dan eksekusi 4.

Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorismedari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapatperbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilanpidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesiadimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana diAustralia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism fromthe standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there aresignificant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminaljustice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia whereprotection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice systemin Australia and England are more conducive to creating due process of law. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia Terkait Dengan Due Process Of Law Bagi Pelaku Oleh Nur Rois * nurrois Abstrak. Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorisme dari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapat perbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilan pidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia dimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana di Australia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of law. These writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism from the standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there are significant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminal justice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia where protection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice system in Australia and England are more conducive to creating due process of law. Kata Kunci ; tindak pidana terorisme, terorisme, sistem peradilan pidana, adversarial, perbandingan hukum, due process of law Keyword ; criminal act of terrorism, terrorism, criminal justice system, adversarial, comparative law. I. Pengantar Tata dunia internasional world order kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin. Runtuhnya gedung World Trade Centre WTC di New York tanggal 11 September lalu akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 Septembermembawa implikasi fundamental * Penulis adalah Dosen PNSDpk di Universitas Baturaja Tragedi 11 September adalah peristiwa dimana 19 pembajak pesawat membajak 4 penerbangan sipil Amerika Serikat, 2 Pesawat ditabrakkan pada menara kembar World Trade Center New York, 1 pesawat ditabrakkan di gedung Pentagon dan 1 lagi peswat menjatuhkan dirinya di Shanksville terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat AS sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang terhadap Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional khususnya dalam bentuk terorisme dan hegemonisme AS sebagai adidaya Negara-negara lain perang terhadap terorisme yang dikomandoi Amerika telah membagi kedalam dua blok baru pasca perang dingin yaitu kawan atau lawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat, PBB sebagai lembaga pemersatu bangsa di dunia melalui United Nation Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komprehensif sebagai berikut; Aspek politik dan pemerintahan politic and government, Aspek ekonomi dan social economic and social , aspek psikologi, aspek komunikasi, pendidikan Psychology-communication, education, peradilan dan hukum judicial and law , aspek kepolisian dan system pemasyarakatan police and prison system , aspek intelijen intelligence, aspek militer military, aspek imigrasi immigration.Bagi Indonesia , sejak tahun 2002 tidak pernah sepi dari ancaman terror setiap tahunnya, bahkan menurut data intelijen Jam’ah Islmaiah JI dan organisasi teroris lain di Asia Tenggara masih aktif dan berbahaya, serangkaian bom terjadi di Indonesia pasca bom Pennsylvania, setidaknya ada kurang lebih 3000 korban jiwa dalam tragedi tersebut. Lihat diakses pada 03 Mei 2012 Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003, Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Bali 2002, walaupun aktor utama pemboman di Indonesia Dr Azhari dan Nurdin M Top sudah ditembak mati tetapi tampaknya ancaman terorisme di Indonesia tidak Overview a. Definisi Terorisme Definisi terorisme sendiri saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah banyak ahli yang medefinisikannya, dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum kata “teroris” pelaku dan terorisme aksi berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan , tentu saja kengerian di hati dan pikiran “Terorisme” menurut Budi Hardimanpada 1970-an dikenakan pada fenomena dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintah menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris” sebuah istilah yang mudah dipolitisasi, terorisme merupakan fenomena dalam masyarakat demokratis atau masyarakat yang menuju transisi kesana. Didalam negara totaliter terorisme cenderung dilakukan oleh negara. Sejak 11 September 2001 terorisme menemukan bentuk barunya dalam memobilisasi konflik global dalam mengisi kekosongan pasca perang dingin yang mengerucut dalam opini politis “kawan” atau “lawan” dalam skala global perang terhadap terorisme. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, disebutkan mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004, hal. 22 Budi Hardiman , “Terorisme Paradigma dan Definisi” dalam Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas terorisme menurut pemerintah Inggris sebagaimana dikutip oleh Craig T Cobaen dalam desertasinya adalah;“the use of violence for political ends, and included any use of violence for the purpose of putting the public or any section of the public in Hampir sama dengan pendapatnya, Austin T Turk seorang sosiologis dari University Of California mengatakan hubungan terorisme dengan politik sebagai berikut;“Terrorist acts are political, rarely in volving psychopathology or material deprivation. Indeed, the evidence is mounting that terrorism is associated with relative affluence and social advantage rather than poverty, lack of education, or other indicators of Jenny Hocking juga sependapat bahwa terorisme adalah sebagai aksi politis, “terrorism as a label simplifies the complex moral and political questions raised by any political Abdul Wahid. Dkk , Opcit Lihat Juga Undang-Undang No 1Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 b. Definisi Due Process Of Law Dalam pelaksanaan peradilan pidana maka ada istilah yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana tersebut yakni “Due Process Of Law”, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai “ proses hukum yang adil atau layak” lawan dari proses ini adalah “arbitrary process” atau “proses yang sewenang-wenang atau didasarkan pada kuasa penegak hukum “. Secara keliru penerapan proses hukum yang adil hanya bersandar pada peraturan hukum pidana saja, sehingga arti dari “Due Process Of Law” hanya sebatas penerapan hukum atau penerapan perundang-undangan secara formil saja. Seharusnya pemahaman tentang proses hukum yang adil mengandung juga sikap batin, penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat, meskipun ia menjadi pelaku kenyataannya due process of law banyak tidak berlaku bagi orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus terorisme , dari data Indonesian Police Watch setidaknya selama periode januari 2011 – maret 2012 ada sekitar 21 orang tersangka terorisme telah ditembak mati tanpa proses peradilan terlebih dahulu dalam proses penggerebekan polisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Todung Mulya Lubis dalam desertasinya memang permasalahan keseimbangan para pihak merupakan hal yang sulit diwujudkan dalam realita,adalah tidak mungkin bagi terdakwa untuk memiliki peluang penuh dan seimbang dalam proses peradilan, jaksa penuntut umum biasanya memiliki akses yang lebih besar terhadap barang bukti dan saksi dibanding pengacara/terdakwa. Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 hlm. 8 Rakyat Merdeka Online, 21 Teroris Tewas Terkena Timah Panas Densus 88, diakses pada 03 Mei 2012 Todung Mulya Lubis, “In Search Of Human Rights Legal-Political Dillemas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990” dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 197 c. Alasan Pemilihan Inggris dan Australia. Secara historis Inggris dalam memerangi terorisme memiliki pengalaman yang panjang sejak perlawanan Irish Republican Brotherhood and Young Ireland sebagai cikal bakal Irish Republican Army yang pecah pada tahun 1761. Inggris sendiri memiliki peraturan khusus tentang terorisme dari tahun 1974. Sedangkan Australia sendiri memiliki aturan mengenai terrorisme mulai tahun 1995. Secara teritorial Australia termasuk istimewa berada di dekat daratan Indonesia , dan Asia, Australia memiliki sistem hukum yang khas disatu sisi masuk dalam keluarga commonlaw tetapi disisi lain Australia melakukan kodifikasi terhadap peraturan perundang-undangannya terutama terkait dengan Criminal Code Act 1995. Dilihat dari keluarga hukumnya Inggris dan Australia termasuk dalam keluarga commonlaw mengingat tradisi due process of law sendiri diawali dari keluarga hukum commonlaw tercantum dalam Magna Charta dan tercantum dalam Hobeas Corpus Act 1679. d. Metodologi Perbandingan Hukum Perbandingan hukum memiliki arti penting dalam ‘perbaikan dan perluasan terus-menerus terhadap pengetahuan hukum kita” demikian yang dikatakan oleh Yntema sebagaimana dikutip oleh Peter De Peter De Cruz dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum terdapat beberapa Konsep Kunci dalam Metode Hukum Komparatif yaitu;A. Keluarga Hukum Induk dan Tradisi Hukum Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Peter De Cruz, Ibid, Pemikiran mengenai keluarga hukum telah digunakan sebagai unsur utama yang bersifat organisasional bagi analisis terhadap sistem hukum di dunia. Ketika kita merujuk pada Negara-negara civil law berarti kita merujuk terutama pada Negara yang mewarisi tradisi Romawi-Jerman yang memiliki gaya yuristik tersendiri. Seperti kita ketahui tradisi hukum bukanlah serangkaian peraturan di dalam yuridiksi tertentu , tetapi merupakan sikap yang terkondisi secara historis terhadap peran hukum dalam masyarakat tertentu, karakteristik mode pemikiran hukumnya dan sumber-sumber hukumnya serta ideologi dasarnya. Tradisi hukum Perancis didasarkan pada pemisahan yang tegas antara hukum privat dan pidana disatu sisi, serta hukum ‘ publik’ dan administrasi disisi lain; pada kenyataannya keduanya membentuk dua sistem hukum yang terpisah. Indonesia bisa dikategorikan sebagai keluarga hukum civil law, mengingat hukum yang digunakan sebagian besar merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. KUHP yang digunakan Indonesia merupakan Wvs KUHP Belanda yang merupakan warisan dari Code Penal Perancis, sedangkan KUHPerdata Indonesia berasal dari BW Belanda yang juga merupakan warisan dari Code Civil Perancis. Tradisi common law Inggris memiliki pendekatan yang berbasiskan kasus, yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yudisial dan preseden doktrin yudisial stare decisis .Demikian halnya dengan Australia menganut sistem yang sama. Terkait dengan interprestasi undang-undang dalam awal sejarah common law, sering kali hakim-hakim diingatkan oleh seniornya bahwa mereka hanya sebatas menginterprestasikan undang-undang sehingga hal tersebut mirip dengan yang terjadi pada sistem civil law dalam memberikan preseden. Peter De Cruz, Terkait dengan sistem hukum Lawrence M Friedman mengatakan bahwa fungsi dari sistem hukum adalah bagian dari kontrol sosial, dalam arti yang paling luas sistem kontrol sosial ini merupakan fungsi dari sistem hukum; sistem yang lainya kurang lebih menjadi sekunder atau dibawahnya , ibarat polisi lalu lintas sistem hukum memerintahkan orang apa yang harus dilakukan dan jangan dilakukan dengan Sumber-sumber hukum Sumber-sumber hukum formal adalah legislasi, undang-undang , keputusan yudisial adat-istiadat, doktrin atau tulisan akademis serta equity keadilan etis. Setiap sistem hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri yang memiliki struktur heirakhi tertentu. Sehingga sumber hukum utama pada civil law adalah undang-undang yang berlaku, adat-istiadat yang dituliskan, dan perkara-perkara yang diputuskan , tidak ada tradisi stare decisis dalam civil law sementara hal tersebut merupakan sumber hukum pokok dalam common law. Bagi Indonesia produk legislasi adalah sumber hukum utamanya , lain halnya dengan Inggris dimana tradisi commonlaw berasal, stare decisis adalah tulang punggung hukumnya, yang menarik adalah Australia meskipun termasuk dalam kategori negara commonlaw tetapi Australia juga mencoba untuk terus melakukan kodifikasi terhadap undang-undangnya , termasuk undang-undang terorisme mereka masukkan dalam amandemen Criminal Code Act C. Metode Hukum Komparatif. Mengenai metode dalam komparasi hukum , Peter De Cruz merujuk pada pendapat Zweigert dan Kotz 1977 terkait dengan kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan sistem hukum , yang menurut mereka dapat dipastikan melalui ; a Latar Belakang Historis dan perkembangannya dari sistem tersebut; b Karakteristik tipikal model pemikirannya; c Institusi-institusi yang berbeda Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 d Macam sumber hukum yang diakuinya dan perlakuan terhadap semua ini e Ideologinya. III. Analisis Perbandingan Pengaturan Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia. A. Pengaturan Terorisme di Indonesia Sejak peristiwa 11 September 2001 perhatian dunia tertuju pada salah satu bentuk kejahatan yaitu Terorisme dan khusus di Indonesia kita pun ikut fokus terhadap kejahatan tersebut setelah terjadinya peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 , di Legian Bali kejahatan tersebut layak digolongkan sebagai kejahatan besar terkait dengan aksi terorisme di waktu yang relatif sangat cepat sejak peristiwa bom bali pada 12 Oktober 2002 Pemerintah Indonesia hanya dalam kurun waktu 6 hari 18 Oktober 2002 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait dengan Terorisme secara umum dan Terorisme pada kasus Bom Bali. Jadi secara umum Indonesia memiliki dua peraturan perundangan khusus mengenai terorisme yaitu ; Pertama, Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan Kedua, Perpepu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perperpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Namun sejak 23 Juli 2004 lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 03 / PUU-I/2004 membatalkan Perpu Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali sebagaimana telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Abdul Wahid, dkk, Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002. Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali Sebagai Undang-Undang, dinyatakan tidak mengikatdan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sehingga secara khusus di Indonesia saat ini hanya memiliki satu peraturan khusus mengenai terorisme yaitu Perpepu Nomor. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah dijadikan Undang-Undang lewat Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Selanjutnya disebut Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk permasalahan teknis dalam proses peradilan pidananya masih banyak mengacu pada peraturan yang tercantum dalam KUHAP Indonesia. B. Pengaturan Terorisme di Inggris Sejarah mengenai peraturan terkait dengan terorisme di Inggris diawali dengan The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 sebagai respon terhadap pemboman yang dilakukan pada 21 November 1974 dimana 21 orang meninggal dan 184 orang terluka dikenal dengan Brimingham Bombing. Oleh pasal 12 Ayat 1 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 bahwa undang-undang Act tersebut habis masa berlakunya pada 28 mei 1975 kecuali memang dinyatakan berlaku oleh kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi terjadi lagi peledakan bom pada Februari 1975 sehingga memaksa parlemen Inggris untuk memperpanjang kembali Undang-Undang tersebut untuk enam bulan berikutnya sambil menunggu diterbitkannya undang-undang Putusan Mahkamah Konstitusi , Amar Putusan Diktum ke-2 Ibid, Amar Putusan Diktum ke-2 Beradasarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, Lampiran I bagian Nomor 165 penyebutan perpu yang telah dijadikan undang-undang adalah dengan menyisipkan prp pada tahun perpepu tersebut Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 terus diperbaharui sampai tahun 1989 tetapi tetap sebagai Undang-Undang sementara . Pada tahun 2000 Parlemen menyetujui The Terorism Act 2000 , selanjutnya sebagai respon dari London Bombing maka parlemen mengesahkan The Terorism Act 2006 pada 30 Maret 2006, dan Undang-Undang tersebut masih berlaku sampai sekarang. C. Pengaturan Terorisme di Australia Sejarah pengaturan mengenai Terorisme di Australia sudah ada dalam Criminal Code 1995 Schedule 1 pada Bagian Terorisme Ayat 100-103, Bagian dalam Criminal Code Australia ini secara berkala telah diamandemen beberapa kali oleh beberapa peraturan perundang-undangan Act yakni; the Anti-Terrorism Act 2004 Cth, the Anti-Terrorism Act 2005 Cth dan the Anti-Terrorism Act 2005 Cth , kemudian pada bagian yang memuat tentang penghasutan untuk melakukan tindak pidana didalamnya termasuk juga penghasutan untuk melakukan aksi terorisme. Sebagaimana peraturan-peraturan tentang terorisme di beberapa negara termasuk Indonesia dan Inggris yang dilatar belakangi oleh tragedi 11 September 2001, demikian juga halnya dengan pengaturan mengenai terorisme di Australia, setidaknya telah ada 40 peraturan mengenai terorisme sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001 sampai tahun 2012 .Pengaturan terbaru mengenai terorisme di Australia dapat ditemukan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth, yang sebenaranya merupakan amandemen dari Criminal Code 1995 dan beberapa peraturan Act yang sudah ada sebelumnya. Clive Walker, Ibid hal, 24 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008, Australian Human Rights Commission, Ibid D. Perbandingan Pengaturan Terorisme di Ketiga Negara Indonesia, Inggris, dan Australia Terkait dengan Due Process of Law Terhadap Pelaku Apabila kita cermati terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di ketiga negara Indonesia, Inggris dan Australia , untuk pembahasannya hanya kami batasi pada isu-isu sentral yang terkait dengannya yaitu ; a. Penangkapan b. Peranan intelijen c. Hukuman mati d. Proses peradilannya terkait dengan bantuan hukum bagi pelaku terorisme a. Penangkapan Di Indonesia seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme dapat dilakukan penangkapan jika ada bukti permulaan yang cukup dengan periode paling lama adalah 1 hari, khusus untuk bukti permulaan berdasarkan laporan Intelijen maka dapat dilakukan penangkapan selama 7 x 24 Jam 7 hari, sebelumnya harus ada penetapan dari pengadilan mengenai bukti intelijen tersebut dimana pemeriksaannya dilakukan secara tertutup oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai kewenangan penyidikan yang terkait dengan proses penangkapan orang yang diduga terlibat dalam terorisme tidak diatur secara khusus siapa yang berwenang sehingga tetap merujuk pada peraturan dalam KUHAP Indonesia yaitu penyidik adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P asal 28 pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan Inggris terkait dengan penangkapan , masih merujuk pada perundangan lama yaitu Terorism Act 2000 c11 diatur bahwa maximum penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme adalah 48 Jam terhitung sejak dia ditangkap, Jika hakim Magistrat merasa perlu maka dapat diperpanjang lagi menjadi 7 hari, dan dapat diperpanjang menjadi 3 bulan 90 hari. Dikarenakan banyaknya protes terhadap masa 90 hari penangkapan maka oleh Terorrism Act 2006 c1 diamandemen menjadi maksimal 28 hari seseorang dapat ditangkap tanpa tuduhan charge setelah masa perpanjangan 7 hari pertama sebagai bagian dari investigasi aturan ini berlaku mulai 13 April prakteknya polisi tidak pernah melakukan penangkapan lebih dari 14 hari tanpa kejelasan lebih lanjut mengenai status dari orang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme. Praktek terlama dalam penangkapan dilakukan terhadap Shamin Mohammed Uddin yang dituduh terlibat dalam aksi terorisme yang dikenal dengan “ 2006 translantic aircraft Uddin diadili dengan dakwaan terlibat sebagai kaki tangan teroris. Di Australia penanganan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme hanya bisa dilakukan oleh AFP Australia Federal Police dan ASIO Australia Security Intelligence Organisation , penangkapan oleh AFP jangka waktu maksimalnya adalah 48 Jam dan dapat dilanjutkan menurut hukum negara bagian selama 14 hari, mereka Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 1 butir 1 The Terrorism Act 2000 Pasal 25 Ayat 4 The Terrorism Act 2006 Commencement 1 Pasal 23 Ayat 4 The Terrorism Act 2000 Pasal 26 Ayat 2b The Terrorism Act 2006 Commencement 1, The Terrorism Act 2006 Commencement 1, explanatory note BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Criminal Code Act 1995 Pasal Ayat 2 harus meminta ijin pada ‘issuing authority’ yang berwenang yang menerbitkannya. ‘Issuing authority’ bukan pengadilan tetapi seorang hakim senior yang masih bertugas atau sudah pensiun, federal magistrate, atau anggota senior dari sebuah tribunal yang telah diangkat oleh pemerintah penangkapan oleh AFP di Australia lembaga intelijen juga berhak melakukan penangkapan berdasarkan Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 mengatur bahwa dibawah wewenang khusus ASIO tidak boleh dilakukan penangkapan lebih dari 168 jam. Setelah dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme maka orang tersebut harus segera dihadapkan kepada “prescribed authority” untuk dijelaskan mengenai penangkapan tersebut. Yang dimaksud dengan “prescribed authority” adalah orang yang mengabdi sebagai hakim pada satu atau lebih superior court untuk jangka waktu minimal 5 tahun tetapi tidak sedang menjabat sebagai komisi dalam superior court, atau jika tidak cukup orang dengan kualifikasi tersebut maka Minister dapat menunjuk seseorang yang telah mengabdi sebagai hakim pada Suprame Courts atau District Court atau yang setara dengan masa kerja minimal 5 tahun untuk menjadi “prescribed authority”, jika masih kurang cukup orang dengan kualifikasi yang disebutkan sebelumnya maka Minister dapat menunjuk orang yang menduduki posisi sebagai Presiden atau Wakil Presiden dalam administratif tribunal yang terdaftar minimal 5 tahun pada Suprame Court dari negara bagian atau teritorial yang yang patut dicermati menurut penulis dari aturan mengenai penangkapan di ketiga negara bahwa adanya justifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait dengan aturan penangkapan secara internasional, dan aturan internasional hanya memberikan Ibid, Pasal Ayat 1 Australia Security Intelligence Organisation Act 1979, Bagian III Pasal 34s Ibid , Pasal 34B Ayat 1 Ibid , Pasal 34B Ayat 2 Ibid , Pasal 34B Ayat 3 waktu paling lama 48 empat puluh delapan jam seseorang yang ditangkap harus segera di hadapkan kemuka hakim, malahan dalam ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights seseorang harus “segera” dihadapkan kepada hakim setelah dilakukan penangkapan. Bahwasanya setelah batas waktu yang ditentukan maka orang tersebut harus dijelaskan mengenai status dirinya apakah hanya dimintai keterangan saja sebagai saksi misalnya atau telah menjadi tersangka. b. Peranan intelijen Di Indonesia peranan intelijen dalam penegakan tindak pidana terorisme dapat dilihat dalam kaitannya dengan bukti permulaan berupa “laporan intelijen” hanya saja di Indonesia tidak dijelaskan secara rinci lembaga mana yang berwenang terkait dengan “laporan intelijen” tersebut. Dalam perundang-undangan yang ada disebutkan bahwa “laporan intelijen” adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri , Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang Inggris Fungsi intelijen terkait dengan kejahatan terorisme diatur dalam Intelligence Services Act 1994, bahwa salah satu fungsi intelijen adalah melakukan langkah-langkah preventif termasuk penangkapan dan penahanan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan serius serious crime , maupun yang terkait dengan keamanan nasional Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P enjelasan Pasal 26 Ayat 1 Mengenai batasan waktu Intelligence Services Act tidak menyebutkan secara jelas sehingga bisa diasumsikan selama diperlukan. Beberapa kasus yang terjadi di Inggris akibat keterlibatan intelijen menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berupa penyiksaan torture, maupun penahanan tanpa peradilan, misalnya kasus Binyan Muhammed yang selama 7 tahun di penjara di Guantanamo tanpa peradilan terlebih dahulu , keterlibatan agen M15 dinas rahasia Inggris dibantah hanya sekedar melakukan interograsi saja, sementara persidangan tuntutan dari Biyan Muhammed sendiri tidak bisa diungkapkan karena termasuk dalam kategori rahasia menyangkut keamanan beradasarkan laporan dari PBB diduga pemerintah Inggris telah melakukan penyiksaan terhadap warganya sendiri terkait dengan “perang melawan terror”.Hal yang berbeda ditemukan di Australia , dimana peranan dalam penanganan kejahatan terorisme dari lembaga intelijen pengaturannya sangat jelas dalam Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Division 3—Special powers relating to terrorism offences , dan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth Schedule 10 tentang ASIO Power . ASIO diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan interograsi dan penahanan terhadap orang yang diduga terlibat kejahatan terorisme, tetapi bukan penangkapan , setelah dinyatakan terlibat tersangka maka penahanannya dialihkan ke polisi AFP. Beberapa hak warga negara misalnya hak untuk tetap diam right to remain silence Intelligence Services Act 1994 Pasal 1 ayat 2a Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, The Guardian, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 dihilangkan dengan kewenangan yang diberikan kepada ASIO, sehingga jika seseorang tidak menjawab pertanyaan dari agen ASIO maka dia bisa dikenakan pidana maksimal 5 tahun. Begitu juga jika seseorang ditangkap oleh ASIO maka dia tidak diperkenankan memberitahukan kepada siapapun kecuali pada pengacara dan hakim tribunal , atau Ombudsman terkait dengan keberatan terhadap perintah penangkapan/penahanan oleh ASIO, dia boleh menceritakan kembali perihal tersebut kepada umum setelah 2 ketiga negara tersebut menurut hemat penulis tampaknya hanya Australia yang memperhatikan adanya kemungkinan terburuk terhadap keterlibatan aparat intelijen, mereka mencoba memberikan payung hukum bagi warga negaranya dan aparat intelijennya sehingga proses penanganan terhadap kejahatan terorisme tetap dalam koridor hukum yang ada. c. Hukuman mati Indonesia termasuk dalam Negara yang masih mempraktekkan pidana mati , dalam Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memuat tentang ancaman pidana mati yang dapat ditemukan dalam pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 14. Sementara untuk pelaku yang berusia dibawah 18 Tahun tidak diancam dengan Hukuman Mati berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang tersebut. Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Terkait dengan pidana mati juga perlu mendapat perhatian terkait dengan pelaku terorisme setidaknya sampai tahun 2008 Kontras mencatat ada 7 orang terdakwa kasus terorisme yang dijatuhi pidana mati, 3 orang diantaranya telah di eksekusi. Berbeda dengan Indonesia yang masih menerapkan pidana mati, Inggris sejak 1964 sudah tidak lagi mempraktekkan pidana mati, dan dengan ikutnya Inggris ke dalam protokol ke 13 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa menjadikan hukuman mati terlarang di Inggris selama negara tersebut masih terikat kedalam konvensi secara otomatis bagi pelaku terorisme di Inggris tidak akan menghadapi pidana mati, akan tetapi hanya akan menghadapi maximum sentence sesuai yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi yang ada. Sama halnya dengan Inggris, Australia juga telah menghentikan praktek pidana mati sejak 1967, pengadilan federal Australia secara resmi pada tahun 2010 melarang penerapan pidana mati pada seluruh wilayah teritorial Australia. Australia juga pada 11 Juli 1991 telah meratifikasi Protokol ke-2 dari Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana protokol ke-2 berisi mengenai larangan untuk menerapkan pidana mati bagi negara yang telah terikat protokol dalam konvenan dengan masalah hukuman mati ini menurut hemat penulis beban psikologis bagi terdakwa sangat besar sehingga dia akan berusaha bagaimanapun caranya untuk mengindar dari hukuman mati tersebut misalnya ; berbohong , dalam proses hukum yang Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010, hal. 148 Michael Walton , “The Death Penalty in Australia and Overseas”, NSW Council for Civil Liberty, Background Papper, 2005 hal. 10 lihat juga NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, lihat juga , The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 adil due process of law beban psikologis tersebut membuat terdakwa dalam posisi yang tidak seimbang. Di Indonesia sendiri banyak kalangan yang menentang pidana mati, Prof. Roeslan Saleh pernah membicarakan mengenai pidana mati ini, beliau mempermasalahkan pidana mati karena pidana mati tidak dapat ditarik kembali jika kemudian hari terdapat Seno Adjie mengatakan bahwa sebenarnya hukuman mati tidak akan menjadi masalah bila dilaksanakan segera setelah putusan yang berkekuatan hukum tetap ada, masalahnya di Indonesia setelah terpidana menjalani pidana selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun hukuman mati baru Sidharta dalam Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay berpendapat bahwa dilihat dari sisi sejarah hukuman mati dipandang tidak relevan lagi dan hukuman mati menyebabkan demoralisasi di dalam masyarakat untuk lebih jelasnya beliau merujuk pada Deklarasi Stockholm desember 1977 yang antara lain mengemukakan ; a. Hukuman mati sering digunakan sebagai alat penindasan rasial, etnis, golongan, agama, anggota oposisi politik dan golongan minoritas; b. eksekusi hukuman mati adalah suatu tindakan kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan lain; c. Hukuman mati tidak terbukti memiliki daya penangkal deteransi yang khusus; d. Eksekusi hukuman mati bersifat irevokabel. d. Proses Peradilannya Terkait Dengan Bantuan Hukum Bagi Pelaku Terorisme Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 hlm. 263 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Terkait erat dengan proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana terorisme , perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara Indonesia, Inggris dan Australia terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama dipengaruhi oleh sistem peradilan pidana yang dianut oleh ketiga negara tersebut. Indonesia menganut sistem peradilan Inquisitorial sedangkan Australia dan Inggris menganut sistem Adversarial. Sistem adversarial adalah suatu sistem peradilan dimana dua belah pihak saling berlawanan secara berimbang, saling mempresentasikan fakta-faktanya dimana sekelompok orang atau seseorang biasanya jury atau hakim akan menentukan kebenaran dari kasus tersebut, biasa diterapkan pada negara dengan sistem hukum common law. Lawan dari sistem ini adalah Inquisitorial dimana hakim atau sekelompok hakim menentukan/ menyelidiki kebenaran suatu kasus , sistem ini biasa diterapkan di negara-negara civil law dan telah ada lebih dari 700 peradilan Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , sehingga pemeriksaan dalam persidangan pelaku terorisme tidak berbeda dengan tindak pidana yang lainnya. Apabila ancaman pidana dari Tindak Pidana Terorisme lebih dari 15 tahun dan bahkan maksimalnya adalah pidana mati maka sesuai KUHAP maka terdakwa wajib didampingi oleh penasihat hukum. Bagi yang tidak mampu bantuan hukum tersebut diadakan secara untuk yang menghadapi ancaman pidana kurang dari 15 tahun tidak diatur kewajiban didampingi oleh penasihat hukum. Untuk persidangan perkara terorisme di Indonesia dilakukan secara terbuka untuk umum Inggris tidak memiliki sistem pengadilan tunggal , Inggris dan Wales memiliki satu sistem pengadilan, Skotlandia dan Irlandia Utara juga memiliki sistem pengadilan yang berbeda, terkait dengan penanganan terorisme model pengadilannya sama dengan tindak pidana lainnya ada. Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 hal. 31 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 hal. 199 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 56 Ayat 1 Terkait dengan bantuan hukum di Inggris diwajibkan adanya bantuan hukum dalam perkara pidana, peraturan terbaru mengenai bantuan hukum dapat ditemukan dalam Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012 dan Legal Aid and Advice 1949. Di Inggris seseorang wajib didampingi oleh pengacara sesaat setelah dalam masa tidak mampu maka disediakan secara cuma-cuma oleh negara, adapun sumber dananya diambil dari para pembayar pajak yang dibebankan sebesar £2 per tahun, Australia juga memiliki peraturan mengenai bantuan hukum, Australia sebagai negara federal memiliki dua yuridiksi yaitu negara federal dan negara bagian, masing-masing bertanggung jawab dalam menyediakan bantuan hukum sesuai dengan hukumnya masing-masing. Mengenai bantuan hukum baik negara federal atau bagian biasanya di jalankan oleh sebuah komisi yaitu State and Territory Legal Aid Commissions, dibawah peraturan hukum Commonwealth Legal Aid Commission Act 1977 LAC Act terkait dengan terorisme pendampingan oleh pengacara dilakukan sejak penangkapan oleh AFP maupun pada saat interogasi yang dilakukan oleh ASIO. Jika tersangka tidak mampu maka lewat State and Territory Legal Aid bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma. Kehadiran bantuan hukum menurut penulis merupakan syarat mutlak adanya fair trail sebagai sendi dari due process of law . IV. Penutup Pengaturan Terorisme terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia ternyata sama-sama memiliki tingkat kerentanan dalam pelanggaran hak asasi manusia, terutama jika dikaitkan dengan penyidikan awal dimana seseorang dicurigai terlibat dalam tindak pidana terorisme. Ketiga negara menetapan batasan waktu penangkapan yang melanggar ketentuan internasional yakni maksimal 48 jam atau Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012. Ayat 1 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 sesegera mungkin dihadapkan ke muka hakim. Terkait dengan peran intelijen hanya Austrlia yang memberikan syarat-syarat yang cukup untuk intelijen dalam melakukan penahanan dan interogasi , di Indonesia intelijen memang tidak berhak melakukan penangkapan tetapi hasil dari informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi kepolisian, di Inggris intelijen memiliki peranan lebih luas sehingga diduga banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh agen-agen rahasia Inggris. Dalam bantuan hukum bagi pelaku terorisme , Indonesia tidak mewajibkan adanya bantuan hukum kecuali bagi mereka yang diancam lebih dari 15 tahun atau hukuman mati, sementara Inggris dan Australia mereka memiliki aturan hukum bahwa seseorang harus didampingi oleh penasehat hukum sesaat setelah adanya penangkapan. Hukuman mati bagi pelaku terorisme masih di ancamkan di Indonesia, sementara di Inggris dan Australia hukuman mati sudah tidak diberlakukan lagi, hal ini menjadikan due process of law terkait dengan terorisme sulit diterapkan di Indonesia. Daftar Pustaka Buku Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Makalah , Desertasi, Artikel dan Internet Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003 Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002 The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 -, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102 Republik Indonesia Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, United Kingdom, The Terorism Act 2006 United Kingdom, Intelligence Services Act 1994 Australia, Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Australia, Criminal Code Act 1995 Australia, The Terrorism Act 2006 Commencement 1 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this R. StrangThis Article provides a perspective not normally available to legal scholars in the area of comparative law - it is a firsthand account of criminal procedure reform in the Republic of Indonesia. Indonesia, the world’s fourth largest country by population and the largest civil law jurisdiction, has embarked on sweeping legal, political, and institutional reform in the ten years since the collapse of authoritarian rule. Half way around the world from the Indonesia is virtually unknown to Western legal scholars, yet the changes being made in Indonesian criminal procedure are fundamental establishing a suspect’s right to remain silent; limiting pretrial detention; requiring police/prosecutor cooperation; liberalizing the rules of evidence; introducing guilty pleas and cooperating defendants; and replacing inquisitorial trial and pretrial procedures with adversarial ones. This process illustrates the enormous potential for code-based criminal procedure reform and its capacity to introduce new concepts into a criminal justice system, but its success requires legal actors to accept and internalize an entirely new conceptualization of their roles. PThis Article places the transformation of the Indonesian criminal procedure within the larger context of overall Indonesian legal reform as well as the widespread efforts to modernize criminal procedure codes throughout the civil law world. It is not limited to examining the final result, but also describes how and why particular results were reached – the sources the drafting team relied upon, the evolution of the code during the drafting process, and the motivations of drafting members in reaching particularly results. This Article pulls together a number of different important areas of current scholarship - comparative criminal procedure, international technical assistance, and post-authoritarian reform - in a reader-accessible case study Prevention Of Terrorism In British LawClive WalkerClive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986Harry R Dammer Dan Jay S AlbaneseHarry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011American Law An Introduction 2 nd EditionM LawrenceFriedmanLawrence M Friedman, American Law An Introduction 2 nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001Satya ArinantoSatya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004Syahdatul Kahfi EditorSyahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006T AustinTurkAustin T Turk, "Sosiology of Terrorism", artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004, JSTOR, diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, "Man Friend with Bomb Plotter", diakses pada 23 Mei and Democracy The Balance Between Freedom and OrderCraig T CobaenCraig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order;Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PMDailymailDailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012A New National Policy For Legal Aid in AustraliaLibertyLiberty, "Terorism Bill Rushed", diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, "Australia Policy on Death Penalty", diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know,

HabeasCorpusdari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi . Penelitian ini malicious bersifat deskriptif dengan jenis penelitian perbandingan hukum melalui pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan “Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali” 1. Bagaimana Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana di Indonesia dengan di Inggris ? 2. Apakah Asas Strict liability di Indonesia sama dengan strict liability di inggris ? 3. Apakah Perbedaan Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia dengan di Inggris ? .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. b. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu 1. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. 2. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition. Strict liability disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum POLRI Satuan Lalu Lintas. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability" b. Asas Strict Liability Inggris Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang tidak mensyaratkan adanya Mens Rea berupa intention, recklessness, atau negligence. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik 1. Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. 2. Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik 3. Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan Saksi. Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. C. Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia a. Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri Police Prosecutor. Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi tingkat banding dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice CPS. Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri, dan Chief Prosecutor setingkat Kepala Kejaksaan tinggi. Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari a Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon. b Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen. c Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent. Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat custom yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat. Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman vonisnya . Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam right to remain silent. Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia civil law dan common law ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut. b. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu 1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian. 2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan. 3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim. 4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi jaksa dan lembaga pemasyarakatan. No Variabel Indonesia Inggris 1. Pengadilan superior dan inferior strata tingkatan pengadilan dari yang paling tinggi Agung; tinggi; negeri. of lords; agung; banding; tinggi; kerajaan; magistrate. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana dalam Hukum Acara Pidana telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa. Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris No Variabel Indonesia Inggris 2. Pembagian pengadilan berdasarkan yurisdiksi khusus umum; agama; tata usaha negara; militer koroner; militer; ketenagakerjaan; imigrasi; 3. Pembagian daerah hukum Terdapat pembagian daerah hukum berdasarkan administrasi wilayah Tidak terdapat pembagian daerah hukum 4. Jumlah hakim yang memeriksa perkara Hakim majelis Umumnya menggunakan hakim tunggal 5. Sistem pembuktian Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif Berdasarkan keyakinan belaka conviction in time BAB III PENUTUP Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya. Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA Ø Prof. Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2010 Ø Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta Balai Pustaka. Ø Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia . 214 62 144 157 323 277 200 269

perbandingan hukum pidana indonesia dengan hukum pidana inggris